Oleh Hasan Albanna Husain Kallado
Hikmah apa yang bisa kita petik dari Sukarno (1901-1970), Ali Syari’ati (1933-1977), dan Abdullah Said (1945-1998)? Ketiga nama itu sepertinya tak pernah habis menjadi bahan pembicaraan. Padahal, ketiganya adalah sosok yang jelas-jelas berbeda, hidup dalam zaman yang hampir bersamaan namun tetap berbeda. Ali Syari’ati hidup saat Shah Pahlevi sedang berkuasa di Iran. Sukarno hidup dalam zaman Revolusi kemerdekaan Indonesia dari kolonialis Belanda. Sementara Abdullah Said, hadir di zaman awal pemerintahan Orda hingga tumbangnya Orba, saat umat Islam Indonesia mengalami posisi marginal dan stagnan.
Ali Syari’ati begitu harum namanya sebagai tulang punggung perjuangan Revolusi dalam menghadapi dominasi kekuasaan Shah di Iran, Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. Ali Shari’ati. Sukarno dikenal sebagai intelektual muda pembaharu yang giat dan juga melakukan perlawanan terhadap kolonialis penjajah belanda. Sukarno terkenal dengan gagasan pembaruan trilogi nasional: nasionalisme, islamisme dan marxisme, Ia yang juga salah satu motor penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia. Abdullah Said terkenal dengan mahakaryanya Hidayatullah. Ia yang juga menjadi peletak pondasi sistematika nuzulnya wahyu sebagai manhajz Hidayatullah. Hanya itu?
Satu hal yang mestinya dicatat tebal adalah bahwa mereka giat dan terus-menerus berusaha berjuang demi terciptanya perubahan, melalui tulisan dan karya Raksasanya. Dengan menulis! Syari’ati menggerakkan simpul-simpul perubahan, sebuah revolusi melalui lipatan pemikiran pemikiranya. Sukarno dan Abdullah Said membuka mata hati dan pikiran kita dengan catatan hariannya, dengan maha karya relitas masyarakat yang ia bangun.
Kita tak akan pernah kenal sosok Abdullah Said kalau saja ia tidak menulis catatan-catatan mengenai gagasan pemikiranya, yang kemudian dikumpulkan oleh Manshur Salbu. Mungkin juga kita tidak banyak yang tahu dan menyadari bahwa Abdullah Said telah berupaya mengadakan reformasi internal, yang menanamkan rasionalisme-tauhid sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan Agama dan intelektual, Maka ide-ide kreatif yang dimunculkan adalah menciptakan masyarakat madani kontemporer dengan landasan manhaj sistimatika nuzulnya wahyu sebagai pedoman dalam mencairkan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara sistematis. Kita juga tak akan tahu, tak akan dengar nama Ali Syari’ati dan Sukarno, kalau mereka tidak menulis catatan harian, yang kemudian dipublikasikan. Sehebat itukah menulis? Sedahsyat itukah efek yang dihasilkan dari sebuah tulisan?
Resi-resi Sejarah
Siapa pun tak bisa memungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia sebagian besar karena jasa para pengarang atau penulis. Demikian besarnya peran itu, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, menyebut pengarang sebagai ”resi-resi sejarah”.
Pengarang adalah ”the town-criers”, barometer zaman. Bila kita ingin tahu apa yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka cari apa yang terjadi dengan para penulisnya.
Tirani kekuasaan dapat merekayasa sejarah, membuat sejarah sesuka hatinya seperti yang dilakukan Orde Baru Soeharto. Masyarakat dapat bungkam dalam ketakutan dan kepasrahan, demi periuk nasi anak-anaknya. Masyarakat dapat pasrah, berserah diri dan terus menunggu datangnya zaman baru sampai penyakit waktu datang menggerogoti dirinya sendiri.
Tetapi, penulis memberontak terhadap penantian. Mereka berkisah dalam tulisan-tulisannya, dalam buku-buku tentang apa saja. Tentang ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, bumi yang rusak, otoritarianisme agama, dan banyak lagi.
Penulis adalah pekerja keabadian tanpa pamrih. Menulis adalah bekerja untuk abadi. Orang boleh pandai setingggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang tertelan masyarakat dan lenyap dari pusaran arus sejarah. Hanya orang yang menuangkan gagasannya dalam tulisanlah yang akan dikenang dalam waktu yang lama.
Dunia modern terbentuk, terbangun dan menjadi dunia seperti yang kita huni sekarang ini juga tak lepas dari keringat pergulatan para penulis dan karya-karyanya. Penulis adalah sosok yang selalu bergerak di tengah wacana dan hiruk pikuk masyarakat, kadang sejalan dengan arus, kadang melawannya untuk mengarahkan arus itu. Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah beberapa di antaranya. Masih ada ribuan penulis yang dengan jerih payahnya telah menenun tali persambungan peradaban manusia.
Tak hanya itu, kemajuan suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana masyarakatnya memiliki tradisi menulis. Hanya bangsa-bangsa yang memiliki tradisi menulislah yang selalu menjadi pelopor kemajuan. Kebiasaan menulis mengantarkan manusia pada kearifan mengungkap gagasannya secara sistematis berikut apa yang dilihat, didengar, diraba dan dipegangnya.
Bekerja untuk Keabadian
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said memiliki semangat yang luar biasa dahsyatnya, selalu disiplin dan konsisten untuk tetap menulis. Mereka begitu giat dan tekun sehingga dalam usia yang demikian muda sudah menghasilkan tulisan dengan bobot yang tak bisa dianggap remeh. Dan kita tahu, mereka menciptakan maha karya raksasa.
Barangkali, mereka sama sekali tidak akan pernah menyangka kalau ternyata tulisan, goresan pena akan gagasan pemikiranya yang mereka hasilkan akhirnya menjadi perdebatan sampai sekarang. Mereka juga tak tahu, kalau ternyata nama-nama mereka justru semakin tenar dan dikenal tatkala mereka sudah pergi menghadap panggilan Ilahi untuk selamanya.
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah sederet nama yang akan tetap dibaca, ditelisik, dikaji dikritisi dan dikenang sepanjang masa. Gagasan-gagasan mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi masa mendatang.
Nama-nama mereka akan selalu abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena tanpa mereka sadari, dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah dan peradaban
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah cermin-cermin peradaban pada masanya sendiri. Kita hanya bisa berharap, kelak, suatu saat nanti, akan hadir Ali Syari’ati-Ali Syari’ati muda, Sukarno-Sukarno muda, Abdullah Said-Abdullah Said muda, yang mewarisi nilai-nilai perjuangan, semangat, dan cita-citanya yang luhur. Dan kita juga berharap mereka menciptakan karya raksasa.
Gunung Tembak, Menjelang Subuh, 10 April 2011.
Hikmah apa yang bisa kita petik dari Sukarno (1901-1970), Ali Syari’ati (1933-1977), dan Abdullah Said (1945-1998)? Ketiga nama itu sepertinya tak pernah habis menjadi bahan pembicaraan. Padahal, ketiganya adalah sosok yang jelas-jelas berbeda, hidup dalam zaman yang hampir bersamaan namun tetap berbeda. Ali Syari’ati hidup saat Shah Pahlevi sedang berkuasa di Iran. Sukarno hidup dalam zaman Revolusi kemerdekaan Indonesia dari kolonialis Belanda. Sementara Abdullah Said, hadir di zaman awal pemerintahan Orda hingga tumbangnya Orba, saat umat Islam Indonesia mengalami posisi marginal dan stagnan.
Ali Syari’ati begitu harum namanya sebagai tulang punggung perjuangan Revolusi dalam menghadapi dominasi kekuasaan Shah di Iran, Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. Ali Shari’ati. Sukarno dikenal sebagai intelektual muda pembaharu yang giat dan juga melakukan perlawanan terhadap kolonialis penjajah belanda. Sukarno terkenal dengan gagasan pembaruan trilogi nasional: nasionalisme, islamisme dan marxisme, Ia yang juga salah satu motor penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia. Abdullah Said terkenal dengan mahakaryanya Hidayatullah. Ia yang juga menjadi peletak pondasi sistematika nuzulnya wahyu sebagai manhajz Hidayatullah. Hanya itu?
Satu hal yang mestinya dicatat tebal adalah bahwa mereka giat dan terus-menerus berusaha berjuang demi terciptanya perubahan, melalui tulisan dan karya Raksasanya. Dengan menulis! Syari’ati menggerakkan simpul-simpul perubahan, sebuah revolusi melalui lipatan pemikiran pemikiranya. Sukarno dan Abdullah Said membuka mata hati dan pikiran kita dengan catatan hariannya, dengan maha karya relitas masyarakat yang ia bangun.
Kita tak akan pernah kenal sosok Abdullah Said kalau saja ia tidak menulis catatan-catatan mengenai gagasan pemikiranya, yang kemudian dikumpulkan oleh Manshur Salbu. Mungkin juga kita tidak banyak yang tahu dan menyadari bahwa Abdullah Said telah berupaya mengadakan reformasi internal, yang menanamkan rasionalisme-tauhid sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan Agama dan intelektual, Maka ide-ide kreatif yang dimunculkan adalah menciptakan masyarakat madani kontemporer dengan landasan manhaj sistimatika nuzulnya wahyu sebagai pedoman dalam mencairkan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara sistematis. Kita juga tak akan tahu, tak akan dengar nama Ali Syari’ati dan Sukarno, kalau mereka tidak menulis catatan harian, yang kemudian dipublikasikan. Sehebat itukah menulis? Sedahsyat itukah efek yang dihasilkan dari sebuah tulisan?
Resi-resi Sejarah
Siapa pun tak bisa memungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia sebagian besar karena jasa para pengarang atau penulis. Demikian besarnya peran itu, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, menyebut pengarang sebagai ”resi-resi sejarah”.
Pengarang adalah ”the town-criers”, barometer zaman. Bila kita ingin tahu apa yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka cari apa yang terjadi dengan para penulisnya.
Tirani kekuasaan dapat merekayasa sejarah, membuat sejarah sesuka hatinya seperti yang dilakukan Orde Baru Soeharto. Masyarakat dapat bungkam dalam ketakutan dan kepasrahan, demi periuk nasi anak-anaknya. Masyarakat dapat pasrah, berserah diri dan terus menunggu datangnya zaman baru sampai penyakit waktu datang menggerogoti dirinya sendiri.
Tetapi, penulis memberontak terhadap penantian. Mereka berkisah dalam tulisan-tulisannya, dalam buku-buku tentang apa saja. Tentang ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, bumi yang rusak, otoritarianisme agama, dan banyak lagi.
Penulis adalah pekerja keabadian tanpa pamrih. Menulis adalah bekerja untuk abadi. Orang boleh pandai setingggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang tertelan masyarakat dan lenyap dari pusaran arus sejarah. Hanya orang yang menuangkan gagasannya dalam tulisanlah yang akan dikenang dalam waktu yang lama.
Dunia modern terbentuk, terbangun dan menjadi dunia seperti yang kita huni sekarang ini juga tak lepas dari keringat pergulatan para penulis dan karya-karyanya. Penulis adalah sosok yang selalu bergerak di tengah wacana dan hiruk pikuk masyarakat, kadang sejalan dengan arus, kadang melawannya untuk mengarahkan arus itu. Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah beberapa di antaranya. Masih ada ribuan penulis yang dengan jerih payahnya telah menenun tali persambungan peradaban manusia.
Tak hanya itu, kemajuan suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana masyarakatnya memiliki tradisi menulis. Hanya bangsa-bangsa yang memiliki tradisi menulislah yang selalu menjadi pelopor kemajuan. Kebiasaan menulis mengantarkan manusia pada kearifan mengungkap gagasannya secara sistematis berikut apa yang dilihat, didengar, diraba dan dipegangnya.
Bekerja untuk Keabadian
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said memiliki semangat yang luar biasa dahsyatnya, selalu disiplin dan konsisten untuk tetap menulis. Mereka begitu giat dan tekun sehingga dalam usia yang demikian muda sudah menghasilkan tulisan dengan bobot yang tak bisa dianggap remeh. Dan kita tahu, mereka menciptakan maha karya raksasa.
Barangkali, mereka sama sekali tidak akan pernah menyangka kalau ternyata tulisan, goresan pena akan gagasan pemikiranya yang mereka hasilkan akhirnya menjadi perdebatan sampai sekarang. Mereka juga tak tahu, kalau ternyata nama-nama mereka justru semakin tenar dan dikenal tatkala mereka sudah pergi menghadap panggilan Ilahi untuk selamanya.
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah sederet nama yang akan tetap dibaca, ditelisik, dikaji dikritisi dan dikenang sepanjang masa. Gagasan-gagasan mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi masa mendatang.
Nama-nama mereka akan selalu abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena tanpa mereka sadari, dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah dan peradaban
Ali Syari’ati, Sukarno dan Abdullah Said adalah cermin-cermin peradaban pada masanya sendiri. Kita hanya bisa berharap, kelak, suatu saat nanti, akan hadir Ali Syari’ati-Ali Syari’ati muda, Sukarno-Sukarno muda, Abdullah Said-Abdullah Said muda, yang mewarisi nilai-nilai perjuangan, semangat, dan cita-citanya yang luhur. Dan kita juga berharap mereka menciptakan karya raksasa.
Gunung Tembak, Menjelang Subuh, 10 April 2011.
0 komentar:
Posting Komentar